OTONOM

Pengertian "otonom" secara bahasa adalah "berdiri sendiri" atau "dengan pemerintahan sendiri".[2] Sedangkan "daerah" adalah suatu "wilayah" atau "lingkungan pemerintah".[2] Dengan demikian pengertian secara istilah "otonomi daerah" adalah "wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu sendiri." Pengertian yang lebih luas lagi adalah wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu sendiri mulai dari ekonomi, politik, dan pengaturan perimbangan keuangan termasuk pengaturan sosial, budaya, dan ideologi yang sesuai dengan tradisi adat istiadat daerah lingkungannya.
Pelaksanaan otonomi daerah dipengaruhi oleh faktor-faktor yang meliputi kemampuan si pelaksana, kemampuan dalam keuangan, ketersediaan alat dan bahan, dan kemampuan dalam berorganisasi.
Otonomi daerah tidak mencakup bidang-bidang tertentu, seperti politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal, dan agama. Bidang-bidang tersebut tetap menjadi urusan pemerintah pusat.[3] Pelaksanaan otonomi daerah berdasar pada prinsip demokrasi, keadilan, pemerataan, dan keanekaragaman.
"dengan pemerintahan sendiri".[2] Sedangkan "daerah" adalah suatu "wilayah" atau "lingkungan pemerintah".[2] Dengan demikian pengertian secara istilah "otonomi daerah" adalah "wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu sendiri." Pengertian yang lebih luas lagi adalah wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu sendiri mulai dari ekonomi, politik, dan pengaturan perimbangan keuangan termasuk pengaturan sosial, budaya, dan ideologi yang sesuai dengan tradisi adat istiadat daerah lingkungannya.
Pelaksanaan otonomi daerah dipengaruhi oleh faktor-faktor yang meliputi kemampuan si pelaksana, kemampuan dalam keuangan, ketersediaan alat dan bahan, dan kemampuan dalam berorganisasi.
Otonomi daerah tidak mencakup bidang-bidang tertentu, seperti politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal, dan agama. Bidang-bidang tersebut tetap menjadi urusan pemerintah pusat.[3] Pelaksanaan otonomi daerah berdasar pada prinsip demokrasi, keadilan, pemerataan, dan keanekaragaman.

Sejarah Bahasa Indonesia

Sejarah Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Dasar RI 1945, Pasal 36. Ia juga merupakan bahasa persatuan bangsa Indonesia sebagaimana disiratkan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Meski demikian, hanya sebagian kecil dari penduduk Indonesia yang benar-benar menggunakannya sebagai bahasa ibu, karena dalam percakapan sehari-hari yang tidak resmi masyarakat Indonesia lebih suka menggunakan bahasa daerahnya masing-masing sebagai bahasa ibu, seperti bahasa Melayu pasar, bahasa Jawa, bahasa Sunda, dan lain sebagainya. Untuk sebagian besar masyarakat Indonesia lainnya, bahasa Indonesia adalah bahasa kedua dan untuk taraf resmi bahasa Indonesia adalah bahasa pertama. Bahasa Indonesia merupakan sebuah dialek bahasa Melayu yang menjadi bahasa resmi Republik Indonesia.
Bahasa Indonesia diresmikan pada kemerdekaan Indonesia tahun 1945. Bahasa Indonesia merupakan bahasa dinamis yang hingga sekarang terus menghasilkan kata-kata baru, baik melalui penciptaan, maupun penyerapan dari bahasa daerah dan asing. Bahasa Indonesia adalah dialek baku dari bahasa Melayu yang pokoknya dari bahasa Melayu Riau sebagaimana diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantara dalam Kongres Bahasa Indonesia I tahun 1939 di Solo, Jawa Tengah, “Jang dinamakan ‘Bahasa Indonesia’ jaitoe bahasa Melajoe jang soenggoehpoen pokoknja berasal dari ‘Melajoe Riaoe’, akan tetapi jang soedah ditambah, dioebah ataoe dikoerangi menoeroet keperloean zaman dan alam baharoe, hingga bahasa itoe laloe moedah dipakai oleh rakjat di seloeroeh Indonesia; pembaharoean bahasa Melajoe hingga menjadi bahasa Indonesia itoe haroes dilakoekan oleh kaoem ahli jang beralam baharoe, ialah alam kebangsaan Indonesia.” atau sebagaimana diungkapkan dalam Kongres Bahasa Indonesia II 1954 di Medan, Sumatra Utara, “…bahwa asal bahasa Indonesia ialah bahasa Melaju. Dasar bahasa Indonesia ialah bahasa Melaju jang disesuaikan dengan pertumbuhannja dalam masjarakat Indonesia.”
Secara sejarah, bahasa Indonesia merupakan salah satu dialek temporal dari bahasa Melayu yang struktur maupun khazanahnya sebagian besar masih sama atau mirip dengan dialek-dialek temporal terdahulu seperti bahasa Melayu Klasik dan bahasa Melayu Kuno. Secara sosiologis, bolehlah kita katakan bahwa bahasa Indonesia baru dianggap “lahir” atau diterima keberadaannya pada tanggal 28 Oktober 1928. Secara yuridis, baru tanggal 18 Agustus 1945 bahasa Indonesia secara resmi diakui keberadaannya.
Fonologi dan tata bahasa dari bahasa Indonesia cukuplah mudah. Dasar-dasar yang penting untuk komunikasi dasar dapat dipelajari hanya dalam kurun waktu beberapa minggu. Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang digunakan sebagai penghantar pendidikan di perguruan-perguruan di Indonesia.
Sejarah
Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu, sebuah bahasa Austronesia yang digunakan sebagai lingua franca (bahasa pergaulan) di Nusantara kemungkinan sejak abad-abad awal penanggalan modern. Bentuk bahasa sehari-hari ini sering dinamai dengan istilah Melayu Pasar. Jenis ini sangat lentur, sebab sangat mudah dimengerti dan ekspresif, dengan toleransi kesalahan sangat besar dan mudah menyerap istilah-istilah lain dari berbagai bahasa yang digunakan para penggunanya.
Bentuk yang lebih resmi, disebut Melayu Tinggi yang pada masa lalu digunakan oleh kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Jawa, dan Semenanjung Malaya. Bentuk bahasa ini lebih sulit karena penggunaannya sangat halus, penuh sindiran, dan tidak seekspresif Bahasa Melayu Pasar.
Pemerintah kolonial Belanda melihat kelenturan Melayu Pasar dapat mengancam keberadaan bahasa dan budaya. Belanda berusaha meredamnya dengan mempromosikan bahasa Melayu Tinggi, diantaranya dengan penerbitan karya sastra dalam Bahasa Melayu Tinggi oleh Balai Pustaka. Tetapi Bahasa Melayu Pasar sudah digunakan oleh banyak pedagang dalam berkomunikasi.

Melayu Kuno
Penyebutan pertama istilah “Bahasa Melayu” sudah dilakukan pada masa sekitar 683-686 M, yaitu angka tahun yang tercantum pada beberapa prasasti berbahasa Melayu Kuno dari Palembang dan Bangka. Prasasti-prasasti ini ditulis dengan aksara Pallawa atas perintah raja Sriwijaya, kerajaan maritim yang berjaya pada abad ke-7 sampai ke-12. Wangsa Syailendra juga meninggalkan beberapa prasasti Melayu Kuno di Jawa Tengah. Keping Tembaga Laguna yang ditemukan di dekat Manila juga menunjukkan keterkaitan wilayah itu dengan Sriwijaya.
Berbagai batu bertulis (prasasti) yang ditemukan itu seperti:
1. Prasasti Kedukan Bukit di Palembang, tahun 683.
2. Prasasti Talang Tuo di Palembang, tahun 684.
3. Prasasti Kota Kapur di Bangka Barat, tahun 686.
4. Prasasti Karang Brahi antara Jambi dan Sungai Musi, tahun 688.
Yang kesemuanya beraksara Pallawa dan bahasanya bahasa Melayu Kuno memberi petunjuk bahwa bahasa Melayu dalam bentuk bahasa Melayu Kuno sudah dipakai sebagai alat komunikasi pada zaman Sriwijaya.
Prasasti-prasasti lain yang bertulis dalam bahasa Melayu Kuno juga terdapat di:
1. Jawa Tengah: Prasasti Gandasuli, tahun 832, dan Prasasti Manjucrigrha.
2. Bogor: Prasasti Bogor, tahun 942.
Kedua prasasti di pulau Jawa itu memperkuat pula dugaan bahwa bahasa Melayu Kuno pada saat itu bukan saja dipakai di Sumatra, melainkan juga dipakai di Jawa.
Penelitian linguistik terhadap sejumlah teks menunjukkan bahwa paling sedikit terdapat dua dialek bahasa Melayu Kuno yang digunakan pada masa yang berdekatan.
Melayu Klasik
Karena terputusnya bukti-bukti tertulis pada abad ke-9 hingga abad ke-13, ahli bahasa tidak dapat menyimpulkan apakah bahasa Melayu Klasik merupakan kelanjutan dari Melayu Kuno. Catatan berbahasa Melayu Klasik pertama berasal dari Prasasti Terengganu berangka tahun 1303.
Seiring dengan berkembangnya agama Islam yang dimulai dari Aceh pada abad ke-14, bahasa Melayu klasik lebih berkembang dan mendominasi sampai pada tahap di mana ekspresi “Masuk Melayu” berarti masuk agama Islam.
Bahasa Indonesia
Bahasa Melayu di Indonesia kemudian digunakan sebagai lingua franca, namun pada waktu itu belum banyak yang menggunakannya sebagai bahasa ibu. Bahasa ibu masih menggunakan bahasa daerah yang jumlahnya mencapai 360 bahasa.
Pada pertengahan 1800-an, Alfred Russel Wallace menuliskan di bukunya Malay Archipelago bahwa, “Penghuni Malaka telah memiliki suatu bahasa tersendiri yang bersumber dari cara berbicara yang paling elegan dari negara-negara lain, sehingga bahasa orang Melayu adalah yang paling indah, tepat, dan dipuji di seluruh dunia Timur. Bahasa mereka adalah bahasa yang digunakan di seluruh Hindia Belanda.”
Jan Huyghen van Linschoten di dalam bukunya Itinerario menuliskan bahwa, “Malaka adalah tempat berkumpulnya nelayan dari berbagai negara. Mereka lalu membuat sebuah kota dan mengembangkan bahasa mereka sendiri, dengan mengambil kata-kata yang terbaik dari segala bahasa di sekitar mereka. Kota Malaka, karena posisinya yang menguntungkan, menjadi bandar yang utama di kawasan Tenggara Asia, bahasanya yang disebut dengan Melayu menjadi bahasa yang paling sopan dan paling pas di antara bahasa-bahasa di Timur Jauh.”
Bahasa Indonesia modern dapat dilacak sejarahnya dari literatur Melayu Kuno. Pada awal abad ke-20, bahasa Melayu pecah menjadi dua. Di tahun 1901, Indonesia di bawah Belanda mengadopsi ejaan Van Ophuijsen, sedangkan pada tahun 1904 Malaysia di bawah Inggris mengadopsi ejaan Wilkinson.
Bahasa Indonesia secara resmi diakui sebagai bahasa nasional pada saat Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional atas usulan Muhammad Yamin, seorang politikus, sastrawan, dan ahli sejarah. Dalam pidatonya pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, Yamin mengatakan bahwa, “Jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan menjadi bahasa persatuan yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Tapi dari dua bahasa itu, bahasa Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan.”
Selanjutnya perkembangan bahasa dan kesusastraan Indonesia banyak dipengaruhi oleh sastrawan Minangkabau, seperti: Marah Rusli, Abdul Muis, Nur Sutan Iskandar, Sutan Takdir Alisyahbana, Hamka, Roestam Effendi, Idrus, dan Chairil Anwar. Sastrawan tersebut banyak mengisi dan menambah perbendaharaan kata, sintaksis, maupun morfologi bahasa Indonesia.

Indonesia di mata dunia

Indonesia di mata dunia
Indonesia di mata dunia memiliki prestasi yang mungkin tidak bisa dinilai harganya. Disamping meningkatnya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, akan tetapi nama Indonesia di mata dunia semakin di kenal dengan 24 rekor yang sampai saat ini belom ada yang mampu menandingi rekor tersebut, namun salah satu rekor tersebut tanpa dari kesadaran masyarakat Indonesia akan hilang bahkan musnah. Untuk itu, mari kita jaga prestasi 24 Rekor Indonesia tersebut demi majunya negara kita.

Berikut daftar 24 rekor dunia yang dimiliki Indonesia.
1. Republik Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.504 pulau (termasuk 9.634 pulau yang belum diberi nama dan 6.000 pulau yang tidak berpenghuni).
2. Disini ada 3 dari 6 pulau terbesar didunia, yaitu : Kalimantan (pulau terbesar ketiga di dunia dgn luas 539.460 km2), Sumatera (473.606 km2) dan Papua (421.981 km2).
3. Indonesia adalah Negara maritim terbesar di dunia dengan perairan seluas 93 ribu km2 dan panjang pantai sekitar 81 ribu km2 atau hampir 25% panjang pantai di dunia.
4. Pulau Jawa adalah pulau terpadat di dunia dimana sekitar 60% hampir penduduk Indonesia (sekitar 130 jt jiwa) tinggal di pulau yang luasnya hanya 7% dari seluruh wilayah RI.
5. Indonesia merupakan Negara dengan suku bangsa yang terbanyak di dunia. Terdapat lebih dari 740 suku bangsa/etnis, dimana di Papua saja terdapat 270 suku.
6. Negara dengan bahasa daerah yang terbanyak, yaitu, 583 bahasa dan dialek dari 67 bahasa induk yang digunakan berbagai suku bangsa di Indonesia . Bahasa nasional adalah bahasa Indonesia walaupun bahasa daerah dengan jumlah pemakai terbanyak di Indonesia adalah bahasa Jawa.
7. Indonesia adalah negara muslim terbesar di dunia. Jumlah pemeluk agama Islam di Indonesia sekitar 216 juta jiwa atau 88% dari penduduk Indonesia . Juga memiliki jumlah masjid terbanyak dan Negara asal jamaah haji terbesar di dunia.
8. Monumen Budha (candi) terbesar di dunia adalah Candi Borobudur di Jawa Tengah dengan tinggi 42 meter (10 tingkat) dan panjang relief lebih dari 1 km. Diperkirakan dibuat selama 40 tahun oleh Dinasti Syailendra pada masa kerajaan Mataram Kuno (750-850).
9. Tempat ditemukannya manusia purba tertua di dunia, yaitu : Pithecanthropus Erectus’¬ yang diperkirakan berasal dari 1,8 juta tahun yang lalu.
10. Republik Indonesia adalah Negara pertama yang lahir sesudah berakhirnya Perang Dunia II pada tahun 1945. RI merupakan Negara ke 70 tertua di dunia.
11. Indonesia adalah Negara pertama (hingga kini satu-satunya) yang pernah keluar dari Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pada tgl 7 Januari 1965. RI bergabung kembali ke dalam PBB pada tahun 1966.
12. Tim bulutangkis Indonesia adalah yang terbanyak merebut lambang supremasi bulutangkis pria, Thomas Cup, yaitu sebanyak 13 x (pertama kali th 1958 & terakhir 2002).
13. Indonesia adalah penghasil gas alam cair (LNG) terbesar di dunia (20% dari suplai seluruh dunia) juga produsen timah terbesar kedua.
14. Indonesia menempati peringkat 1 dalam produk pertanian, yaitu : cengkeh (cloves) & pala (nutmeg), serta no.2 dalam karet alam (Natural Rubber) dan minyak sawit mentah (Crude Palm Oil).
15. Indonesia adalah pengekspor terbesar kayu lapis (plywood), yaitu sekitar 80% di pasar dunia.
16. Terumbu Karang (Coral Reef) Indonesia adalah yang terkaya (18% dari total dunia).
17. Indonesia memiliki species ikan hiu terbanyak didunia yaitu 150 species.
18. Biodiversity Anggrek terbeser didunia : 6 ribu jenis anggrek, mulai dari yang terbesar (Anggrek Macan atau Grammatophyllum Speciosum) sampai yang terkecil (Taeniophyllum, yang tidak berdaun), termasuk Anggrek Hitam yang langka dan hanya terdapat di Papua.
19. Memiliki hutan bakau terbesar di dunia. Tanaman ini bermanfaat ntuk mencegah pengikisan air laut/abrasi.
20. Binatang purba yang masih hidup : Komodo yang hanya terdapat di pulau Komodo, NTT adalah kadal terbesar di dunia. Panjangnya bias mencapai 3 meter dan beratnya 90 kg.
21. Rafflesia Arnoldi yang tumbuh di Sumatera adalah bunga terbesar di dunia. Ketika bunganya mekar, diameternya mencapai 1 meter.
22. Memiliki primata terkecil di dunia , yaitu Tarsier Pygmy (Tarsius Pumilus) atau disebut juga Tarsier Gunung yang panjangnya hanya 10 cm. Hewan yang mirip monyet dan hidupnya diatas pohon ini terdapat di Sulawesi.
23. Tempat ditemukannya ular terpanjang di dunia yaitu, Python Reticulates sepanjang 10 meter di Sulawesi.
24. Ikan terkecil di dunia yang ditemukan baru-baru ini di rawa-rawa berlumpur Sumatera. Panjang 7,9 mm ketika dewasa atau kurang lebih sebesar nyamuk. Tubuh ikan ini transparan dan tidak mempunyai tulang kepala.

Bahasa Daerah Bukan Musuh Bahasa Indonesia

Pada hari-hari pertama masuk sekolah, Ima, 6 tahun, terlihat amat senang dan nyaman berada di arena pembelajarannya. Tapi tidak demikian halnya dengan beberapa teman lain yang juga mulai duduk di bangku sekolah dasar. Ternyata mereka tampak murung karena tidak diantar sang ibu. Pentingnya kehadiran sosok ibu, terutama sosok bahasanya, di sekolah dasar sudah didengung-dengungkan oleh badan Perserikatan Bangsa-Bangsa urusan pendidikan. Sekarang ini sedang digulirkan program Pendidikan untuk Semua (Education for All) di berbagai negara, termasuk Indonesia. Gerakan UNESCO ini dimaksudkan untuk mendorong peningkatan mutu pendidikan dasar.

Mutu sekolah dasar di Indonesia dinilai belum baik. Dalam pengamatan UNESCO, pendidikan Indonesia belum dapat dinikmati oleh semua anak. Pada tahap pendidikan dasar itu, masih ada anak-anak yang mengalami putus sekolah, mengulang kelas, atau ulang pelajaran. Padahal mereka belum tentu anak yang bodoh. Kegagalan pendidikan tersebut akibat salah urus. Ini urusan bahasa pendidikan (bukan pendidikan bahasa).

Sesungguhnya tidaklah terlalu rumit urusan bahasa pendidikan dasar. Persoalannya hanya berkisar bagaimana meningkatkan daya guna bahasa yang sudah diperoleh anak dari lingkungan rumah demi kemudahan pencapaian tujuan pendidikan: misalnya untuk membuka mata anak agar segera melek aksara; kompeten membaca dan menulis serta berhitung. Untuk itulah sangat penting pemberdayaan bahasa rumah atau bahasa anak, atau yang lebih populer dengan sebutan "bahasa ibu" itu.
Dikaburkan Indonesia tampak belum serius menangani masalah pentingnya bahasa ibu sebagai pengantar pendidikan. Justru, urusan pemberdayaan bahasa ibu itu sering beralih atau berbelok ke masalah pelestarian bahasa ibu lewat pembakuan bahasa.
Isu bahasa ibu sudah dikaburkan; dikeluarkan dari inti persoalan yang sesungguhnya menunggu solusi segera.

Dalam sebuah seminar (internasional) "Bahasa dan Pendidikan Anak Bangsa", yang digelar pada puncak acara Hardiknas 2009 di Bandung baru-baru ini, masalah pendidikan berbasis bahasa ibu sempat akan diangkat. Di sana, Chaedar Alwasilah tidak memberikan fatwa strategi pemberdayaan bahasa ibu di sekolah, tetapi justru meramalkan kematian bahasa. Dalam kertas kerja "Pemertahanan Bahasa Ibu dan Pendidikan Nasional", pakar bahasa dan pendidikan itu dengan tegas menunjukkan bahwa "pesaing terdekat (bahasa daerah/bahasa ibu) adalah musuh dalam selimut, yakni bahasa Indonesia".

Bahasa Indonesia bukanlah musuh bahasa daerah, karena bahasa Indonesia "bukan lawan bahasa daerah". Itu perkataan bijak M. Tabrani (1938), yang sebelumnya turut "membidani lahirnya" bahasa Indonesia dalam Sumpah Pemuda 1928. Seiring dengan menguatnya jiwa kebangsaan (nasionalisme) serta kedaulatan tanah dan air Indonesia, bahasa Indonesia dipastikan sudah berkembang pesat: makin menyebar mendekati bahasa daerah.

Ungkapan permusuhan yang diarahkan pada bahasa daerah dan bahasa Indonesia bisa menciptakan keresahan hati masyarakat (social unrest). Ketika permusuhan itu diciptakan di dunia pendidikan anak, pendidikan tidak akan berhasil guna: tidak menguatkan bangunan jiwa kebangsaan di kalangan anak bangsa, melainkan mempertebal bentuk sikap primordial yang sekarang sudah mulai berlebihan.

Semangat primordial makin bergairah apabila penanganan masalah bahasa ibu itu ditempuh lewat upaya standardisasi/pembakuan bahasa di setiap daerah.
Bayangkan saja kalau daerah-daerah Indonesia yang dikabarkan sebagai wilayah penuturan bahasa ibu yang berbeda-beda ini masing-masing berlomba-lomba membentuk dialek baku/standar. Wilayah Indonesia sudah siap terbelah-belah menjadi 442 daerah penuturan bahasa yang tidak dalam satu semangat berbahasa ibu Indonesia Pada puncak acara perayaan Hardiknas 2009 tersebut, Mahsun juga membelokkan isu bahasa ibu ke alam gagasan yang sulit dan rumit untuk dimengerti oleh para praktisi pendidikan anak Indonesia. Dalam makalah "Beberapa Persoalan dalam Upaya Menjadikan Bahasa Ibu sebagai Bahasa Pengantar Pendidikan di Indonesia", ia membuat guru dan pamong yang belajar serta praktisi pendidikan lainnya kabur melihat pentingnya bahasa ibu sebagai bahasa pendidikan dasar.

Tidaklah bijak kalau masalah bahasa ibu itu dibelokkan ke isu pembakuan bahasa dan pendidikan bahasa baku. Sesungguhnya, ketiadaan dialek baku di setiap daerah tidak perlu dijadikan persoalan untuk menyelenggarakan pendidikan berbasis bahasa ibu. Bahasa ibu bukanlah dialek baku.
Kearifan lokal Bahasa ibu yang perlu segara hadir di sekolah dasar ini bolehlah dikatakan berbentuk kearifan lokal, karena bentuk bahasa ibu hidup di tingkat lokal sebagai bahasa informal di sekitar rumah (keluarga).
Sebagaimana keyakinan masyarakat bahasa di dunia Barat, sosok bahasa ibu bukanlah bentuk bahasa yang dibakukan.
Bahasa itu bahasa non-baku atau nonformal.

Bahasa Indonesia tidak hanya hidup dalam alam pembakuan bahasa. Bahasa Indonesia juga hidup subur di luar arena pembakuan bahasa dan pendidikan bahasa baku. Bahasa Indonesia pun bergerak melokal; mendekati dan--bahkan--menyerupai bahasa daerah. Secara natural, mereka membentuk bahasa ibu bagi anakanak Indonesia.

Ini contoh menarik. Di sebuah sekolah (di Kalimantan Selatan), untuk menanamkan nilai budaya bersih, anak-anak diminta membaca petunjuk tertulis di halaman sekolah: Pilihi ratik, buang kawadahnya.
Petunjuk tertulis itu berupa bahasa Banjar. Sebut saja secara lengkap: itu adalah bahasa Indonesia Banjar, bahasa Indonesia dengan warna kearifan lokal.

Untuk pendidikan dasar keberaksaraan (baca dan tulis), bahasa Indonesia lokal seperti dalam bentuk bahasa Banjar tersebut akan lebih efektif bagi anak-anak sekolah.
Pada tahap awal perkembangan kognitifnya, anak-anak tidak perlu disuguhi bentuk-bentuk bahasa baku yang tak mungkin diperoleh di rumah sebagai bahasa pertama atau bahasa ibunya.

Semasa balita, Ima di rumah juga tidak pernah mendengar ibunya bertanya dengan bahasa baku seperti ini: Anakku, mau menyusu ibu? Sang ibu bertanya dalam bentuk lain. Nenen, ya Nak? Nak, netek, ya? Tidak tabu untuk menghadirkan sosok bahasa ibu di sekolah dasar. Malahan, badan dunia UNESCO (PBB) sudah menganjurkannya.

Janganlah heran kalau melihat ibu-ibu rela ikut hadir di arena pembelajaran sekolah untuk mengawali karier pendidikan anak mereka. Dengan kehadiran sosok ibu, terutama sosok bahasa ibu sebagai sarana bahasa pembelajaran, anak-anak akan merasa nyaman di sekolah. Mereka merasa seperti di rumah!

Donasi Kepada Penulis